Kontroversi Rencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza dan Kebijakan Trump

0
435

NEWSCOM.ID, OPINI – Setiap negara bangsa, nation state, yang masih eksis dan berdaulat hingga kini, tentu memiliki wilayah teritorial definitif, rakyat atau penduduk permanen, pemerintah yang berkuasa dan berdaulat, serta pengakuan kedaulatan dari negara lainnya, baik secara de jure maupun secara de facto. Tiga syarat pertama bersifat mutlak atau konstitutif, sedangkan syarat berikutnya bersifat tambahan atau deklaratif. Ketentuan ini telah disepakati dalam Konvensi Montevideo Tentang Hak dan Tugas Negara pada tahun 1933 di Montevideo, Republik Oriental Uruguay.

Ketentuan di atas pun berlaku untuk Negara Palestina, State of Palestine, yang jelas memiliki wilayah teritorial definitif, rakyat atau penduduk permanen, pemerintah yang berkuasa dan berdaulat, serta mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara lainnya, baik secara de facto maupun de jure.

Namun hingga kini, bangsa Palestina belum merdeka seutuhnya. Mereka masih harus berjuang keras dan teguh dalam menghadapi penjajahan, teror, genosida, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat, pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity) dari rezim zionis Israel. Apalagi sejak berlangsungnya agresi militer Israel ke jalur Gaza sejak Oktober 2023 lalu.

Kondisi Palestina saat ini menyebabkan sejumlah pihak menyerukan kritik tajam dan mendasar terhadap ide dan gagasan Pemerintah RI untuk mengevakuasi penduduk Palestina, khususnya di Jalur Gaza, dengan alasan kemanusiaan. Penyebabnya, proses evakuasi penduduk di jalur Gaza, Palestina, dianggap berpotensi besar menjadi titik masuk (entry point) menuju relokasi paksa warga Palestina oleh rezim zionis Israel. Dengan kata lain, rencana kebijakan

  • Kritik Tajam dan Mendasar MUI

Misalnya, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., mempertanyakan sikap Presiden RI, Jenderal TNI (HOR.) (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo, yang berencana akan mengevakuasi 1.000 warga Jalur Gaza, Palestina, ke Indonesia. “Pertanyaannya, untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut? Bukankah Israel dan Donald Trump sudah menyampaikan keinginannya untuk mengosongkan Gaza?” ucapnya.

Pernyataan Buya Dr. H. Anwar Abbas itu merujuk pada rencana relokasi penduduk di Jalur Gaza, Palestina, yang telah diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump, sebagai proposal perdamaian di Timur Tengah. Tentu saja rencana kebijakan politik luar negeri Presiden Donald John Trump itu ditentang berbagai pihak. Alasannya, kebijakan itu menjadi bagian dari tipu muslihat pendudukan dan penjajahan rezim zionis Israel terhadap warga di Jalur Gaza, Palestina.

Menurutnya, jika rencana evakuasi warga Palestina itu terwujud, maka rezim zionis Israel bisa lebih leluasa untuk menduduki dan menguasai wilayah Gaza. Mereka (Israel) akan leluasa menempatkan warga negaranya ke daerah yang mereka duduki (Jalur Gaza). “Akibatnya, dalam waktu tertentu, Gaza pun akan menjadi bagian dari negara Israel Raya yang mereka cita-citakan,” ungkap Buya Anwar Abbas yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu pada Rabu, 9 April 2025.

Lebih lanjut, Buya Dr. H. Anwar Abbas menyampaikan fakta sejarah bahwa evakuasi paksa menuju relokasi permanen warga Palestina sudah pernah terjadi terhadap penduduk kota Yerusalem. “Dulunya, Yerusalem dikuasai oleh rakyat Palestina. Sekarang kota tersebut sudah diduduki oleh Israel, bahkan sudah dijadikan sebagai ibu kota negaranya,” ucapnya.

“Jadi belajar kepada sejarah, maka Indonesia dalam menghadapi manuver yang dilakukan oleh Israel tersebut harus cerdas. Jangan sampai negara kita dikadalin (ditipu) oleh Israel,” ucap Buya Dr. H. Anwar Abbas sembari mengingatkan Pemerintah RI.

Selain itu, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., pun menyampaikan analisis hubungan internasional terhadap lima negara di kawasan Timur Tengah yang telah dikunjungi Presiden Prabowo Subianto. Penyebabnya, lima negara itu memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan Israel dan Amerika. “Turki misalnya, sudah punya hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun 1949, Mesir sejak 1979, Yordania sejak 1994, Uni Emirat Arab sejak 2020, dan Qatar belum punya hubungan diplomatik, tapi sudah menjalin hubungan dagang tidak resmi dengan Israel sejak 1996,” jelasnya.

Dengan demikian, lanjutnya, jika pemerintah RI berkonsultasi dengan kelima negara itu, maka sudah dapat dipastikan apa yang akan terjadi untuk langkah kebijakan politik luar negeri RI selanjutnya. “Saya minta Presiden Prabowo tidak ikut-ikutan mengevakuasi rakyat Gaza ke Indonesia. Jika hal itu terjadi, jangan harap Israel akan mau menerima kembali warga Gaza yang sudah dievakuasi tersebut,” tegasnya.

Sebagai alternatif, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., mengusulkan agar segala usaha bantuan untuk pengobatan dan perawatan rakyat Gaza akibat serangan Israel harus tetap dilakukan di Jalur Gaza, bukan di tempat lain.

Informasi di atas dikutip dari artikel berita berjudul: “MUI Pertanyakan Rencana Prabowo Evakuasi 1.000 Rakyat Gaza Ke Indonesia,” yang terbit pada Rabu, 9 April 2025, di laman https://mui.or.id/baca/berita/mui-pertanyakan-rencana-prabowo-evakuasi-1000-rakyat-gaza-ke-indonesia.

  • Tanggapan dan Opini Penulis

Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., telah menyampaikan kritik keras dan mendasar terhadap rencana kebijakan politik luar negeri RI terkait evakuasi sekitar 1.000 warga Palestina yang sakit, luka-luka dan trauma ke Indonesia. Alasannya, penduduk permanen di Jalur Gaza akan berkurang dan digantikan dengan warga negara (pemukim) Israel yang ditempatkan pada daerah pendudukan di Jalur Gaza. Semakin banyak warga Palestina yang mengungi, maka semakin banyak pula warga Israel yang akan ditempatkan di Jalur Gaza, Palestina. Apalagi Presiden AS, Donald John Trump, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah sepakat untuk bekerja sama memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara-negara tetangganya, termasuk ke Indonesia, sebagai bagian integral dari proposal perdamaian Palestina.

1. Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat

Dalam artikel berita berjudul: “Trump Akan Ambil Alih Gaza, Cetuskan Relokasi Permanen Warganya,” yang terbit pada Rabu, 5 Februari 2025, oleh Detik News, tercatat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menyampaikan seruannya kepada negara-negara Arab tentang dukungannya terhadap relokasi atau pemukiman kembali warga Gaza secara permanen. Bahkan seruan kontroversial itu ia sampaikan di depan wartawan, sewaktu menyambut kunjungan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, Washingtong DC, Amerika Serikat, pada Selasa, 4 Februari 2025.

“Anda tidak bisa tinggal di Gaza sekarang, anda memerlukan okasi lainnya. Permasalahan di Gaza tidak akan pernah selesai. Jika kita dapat menemukan sebidang tanah yang tepat, atau banyak tanah, dan membangun tempat yang sangat bagus, pasti akan ada banyak uang di daerah tersebut. Saya pikir, itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Gaza, yang dilanda banyak kematian selama berpuluh-puluh tahun,” ujar Presiden Donald Trump pada Selasa, 4 Februari 2025, kepada para wartawan.

Selain itu, Presiden Donald John Trump juga mengejutkan publik internasional dengan gagasan kontroversialnya agar pemerintah Amerika Serikat mengambil alih Jalur Gaza dan mengembangkannya secara bisnis dan  ekonomi. Ide ini disampaikan langsung saat bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di depan awak media di Gedung Putih, Washington DC.

“AS akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami juga akan melakukan pekerjaan terhadapnya. Kami akan memilikinya dan bertanggung jawab untuk menjinakkan semua bom berbahaya yang belum meledak dan senjata lainnya di lokasi tersebut. Saya melihat posisi kepemilikan jangka panjang dan saya melihat hal itu membawa stabilitas besar di kawasan Timur Tengah,” ucapnya. Informasi di atas dikutip Detik News dari Reuters dan Politico di laman https://news.detik.com/internasional/d-7764138/trump-akan-ambil-alih-gaza-cetuskan-relokasi-permanen-warganya.

Gagasan dan ide liar Presiden Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza, Palestina, termasuk kebijakan politik luar negeri AS untuk relokasi penduduk Gaza ke luar negeri secara permanen, inilah yang memicu kritik tajam dari Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag. Beliau memberikan peringatan keras kepada Presiden Prabowo Soebianto agar mempertinggi kewaspadaan terhadap rencana kebijakan luar negeri pemerintah RI untuk mengevakuasi 1.000 warga Gaza korban kebiadaban Israel ke Indonesia.

Pandangan di atas sangat wajar, logis dan rasional karena rencana kebijakan politik luar negeri RI itu sangat bersinggungan dengan kebijakan politik luar negeri AS dan Israel. Perbedaannya hanya dalam penggunaan istilah, yakni evakuasi, serta sifat evakuasi yang sementara (temporer), bukan tetap (permanen), menurut Pemeirntah RI.

Dengan kata lain, jangan sampai kebijakan politik luar negeri RI, yang bersifat bebas aktif, justru diperalat oleh pemerintah Amerika Serikat dan Israel. Apalagi kedua negara ini memiliki agenda penting untuk menguasai Jalur Gaza, merelokasi penduduk Gaza secara paksa dan permanen ke luar negeri, serta mendatangkan warga Israel ke Jalur Gaza untuk menggantikan warga Palestina.

Jika proses evakuasi warga di Jalur Gaza, Palestina, ke Indonesia terjadi, lalu mereka tidak dapat kembali lagi ke Jalur Gaza, maka integritas Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina akan diragukan publik internasional. Predikat Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), serta pendiri dan pemimpin Gerakan Nonblok, pun akan jatuh kredibilitasnya, tidak dapat dipercaya di mata publik global.

2. Relasi Arab – Israel

Selanjutnya, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., menaruh perhatian khusus terhadap lima negara yang telah dikunjungi oleh Presiden Prabowo Subianto, yakni Uni Emirat Arab, Republik Turkiye, Republik Arab Mesir, Kerajaan Hasyimiah Yordania dan Negara Qatar. Alasannya, dari kelima negara di kawasan Timur Tengah itu, hanya Qatar yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, meskipun sejak tahun 1996 telah menjalin hubungan dagang dengan Israel. Bahkan Republik Turkiye telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sejak Maret 1949.

Sedangkan Uni Emirat Arab telah secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Negara Israel sejak Agustus 2020, sesuai dengan kesepakatan damai bertajuk: Abraham Accords Peace Agreement: Treaty of Peace, Diplomatic Relations and Full Normalization Between The United Arab Emirates and the State of Israel. Dalam bahasa Indonesia, terjemahannya ialah: “Kesepakatan Damai Perjanjian Abraham: Persetujuan Damai, Hubungan Diplomatik dan Normalisasi Penuh Antara Uni Emirat Arab dan Negara Israel“.

Dari lima negara yang dikunjungi oleh Presiden Prabowo Subianto, Uni Emirat Arab menjadi negara Arab dan negara teluk yang paling akhir menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Sedangkan Republik Turkiye justru menunjukkan hubungan diplomatik yang sangat tegang, bermusuhan, dan berada di titik terendah dengan Israel. Bahkan di masa kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoğan, Republik Turkiye telah secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel pada Kamis, 10 April 2025. Momentum istimewa ini berlangsung pada hari yang sama dengan kedatangan Presiden Prabowo Subianto di Ankara, ibu kota Turkiye, dalam rangkaian kunjungan resmi kenegaraan dan lawatan diplomatik ke Timur Tengah.

  • A. Relasi Turkiye – Israel

Seperti dikutip dari artikel berita berjudul: “Semakin Panas, Turki Putuskan Hubungan Diplomatik dan Perdagangan dengan Israel,” yang diterbitkan oleh Republika pada Kamis, 10 April 2025, tertulis pernyataan resmi Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Turkiye, Hakan Fidan, mengenai pemutusan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Alasannya, karena pemerintahan Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terus-menerus melancarkan serangan militer ke Jalur Gaza, Palestina.

“Pemerintah (Turkiye) telah memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel, karena Israel terus melancarkan serangan ke Jalur Gaza. Tidak akan ada normalisasi dengan Israel sampai gencatan senjata tercapai (di Gaza),” ucap Menlu Republik Turkiye, Hakan Fidan, pada Rabu, 9 April 2025.

Lebih lanjut, Menlu Republik Turkiye itu menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menentang seluruh dunia dengan dukungan Amerika Serikat. “Saya mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk menahan keinginan Israel (menentang dunia),” imbuhnya. Informasi ini dilansir Republika dari Shafaq pada Kamis, 10 April 2025, di laman https://khazanah.republika.co.id/berita/suhf6c483/semakin-panas-turki-putuskan-hubungan-diplomatik-dan-perdagangan-dengan-israel.

Dengan kata lain, pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., bahwa Pemerintah Republik Turkiye bersahabat dengan Israel, tidak terbukti saat ini. Penyebabnya, Pemerintah Republik Turkiye telah secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Israel. Bahkan secara resmi, pengumumannya bertepatan dengan kedatangan Presiden Prabowo Subianto ke Ankara, ibu kota Turkiye. Kondisi ini tentu menjadi alasan kuat bagi Presiden Prabowo Subianto untuk berkunjung ke Turkiye.

B. Relasi Yordania – Israel

Selain itu, hubungan diplomatik antara Yordania dengan Israel juga sedang berada di titik nadir, sangat tegang, meskipun tidak sampai ke tingkat pemutusan hubungan diplomatik seperti Turkiye. Tercatat sejak Rabu, 1 November 2023, pemerintah Kerajaan Hasyimiah Yordania telah menarik Duta Besar (Dubes)-nya dari Tel Aviv, Israel, sebagai sikap protes dan kecaman keras Yordania atas tindakan agresi militer Israel ke Jalur Gaza, Palestina.

Seperti dikutip dari artikel berita berjudul: “Yordania Tambah Daftar Panjang Negara Yang Tarik Dubesnya dari Israel,” yang terbit pada Kamis, 2 November 2023 di Republika, tercatat bahwa Menlu Kerajaan Hasyimiah Yordania, Ayman Safadi, telah menyatakan penarikan dubes Yordania untuk Israel pada Rabu, 1 November 2023.

“Ini (penarikan dubes) untuk mengungkapkan sikap Yordania yang menolak dan mengutuk perang Israel di Gaza yang membunuh orang-orang tak berdosa serta menyebabkan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ungkapnya.

Adapun tindakan Israel memblokade bantuan, lanjutnya, termasuk makanan, air minum dan obat-obatan, justru semakin memperkuat keputusan Kerajaan Hasyimiah Yordania untuk menarik duta besarnya dari negara Israel. “Dubes Yordania hanya akan kembali ke Tel Aviv jika Israel telah menghentikan perangnya di Gaza serta krisis kemanusiaan yang ditimbulkannya,” tegas Menlu Kerajaan Hasyimiah Yordania, Ayman Safadi. Informasi di atas dapat diakses di Republika pada laman: https://internasional.republika.co.id/berita/s3ha7q335/yordania-tambah-daftar-panjang-negara-yang-tarik-dubesnya-dari-israel.

Lebih lanjut, Pemerintah Kerajaan Hasyimiyah Yordania juga menghentikan sejumlah proyek kerja sama strategis dengan Negara Israel, khususnya di bidang air dan energi, sebagai respon atas tindakan agresi militer dan genosida Israel di Jalur Gaza, Palestina. Kebijakan politik luar negeri Yordania ini diumumkan pada Jumat, 17 November 2023, oleh Menlu Kerajaan Hasyimiah Yordania, Ayman Safadi.

Dalam artikel berita berjudul: “Yordania Batal Teken Perjanjian Energi untuk Air dengan Israel,” yang terbit pada Jumat, 17 November 2023, oleh Kumparan, tertulis bahwa Pemerintah Kerajaan Hasyimiah Yordania tidak akan menyediakan pasokan energi untuk Israel dengan imbalan air bersih dari Israel. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Menlu Kerajaan Hasyimiah Yordania, Ayman Safadi.

“Kami telah melakukan dialog regional mengenai sejumlah proyek, dan saya pikir bahwa serangan (Israel di Gaza) telah terbukti, dan (kerja sama energi untuk air) tidak akan dilanjutkan,” tegasnya pada Jumat, 17 November 2023. Saat ini, lanjutnya, Yordania sedang memusatkan perhatiannya untuk mengakhiri pembalasan barbarisme yang dilakukan oleh Israel di wilayah Gaza, Palestina.

Yordania, lanjutnya, tidak akan pernah berdialog tentang siapa yang akan memerintah di Gaza setelah konflik ini selesai, sebab Yordania khawatir tindakan itu (dialog) berpotensi diartikan sebagai lampu hijau bagi Israel untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. “Jika komunitas internasional ingin membicarakan soal ini (pemerintahan di Jalur Gaza), mereka harus mengentikan perang ini sekarang juga,” jelas Menlu Kerajaan Hasyimiah Yordania, Ayman Safadi.

Informasi di atas dapat diunduh di laman https://kumparan.com/kumparannews/yordania-batal-teken-perjanjian-energi-untuk-air-dengan-israel-21aqt32ZQmV/full.

Dengan demikian, saat ini, hubungan diplomatik antara Kerajaan Hasyimiah Yordania dengan Negara Israel sedang berada di titik nadir, dengan kualitas yang sangat rendah, setahap di bawah pemutusan hubungan diplomatik. Bahkan kerja sama strategis antara Yordania dengan Israel, terkait penyediaan pasokan energi dari Yordania untuk Israel, yang ditukar dengan penyediaan air bersih dari Israel untuk Yordania, telah dibatalkan secara sepihak oleh Pemerintah Kerajaan Hasyiniah Yordania. Kondisi ini berlangsung pasca tindakan teror, genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, pelanggaran HAM berat, pembersihan etnis dan agresi militer oleh rezim zionis Israel di Jalur Gaza, Palestina.

Jadi pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat, Buya Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag., bahwa Kerajaan Hasyimiah Yordaia memiliki hubungan yang baik dengan Israel, tidak terbukti sepenuhnya. Hubungan diplomatik dan perdagangan kedua negara sedang renggang, bahkan terancam putus total, sebagai bentuk protes, kecaman dan kemarahan Kerajaan Hasyimiah Yordania terhadap tindakan rezim zionis Negara Israel di Jalur Gaza, Palestina.

  • Kesimpulan

Kontroversi rencana kebijakan politik luar negeri Pemerintah RI terkait evakuasi sekitar 1.000 penduduk di Jalur Gaza, Palestina, untuk tahap pertama, terjadi karena beririsan langsung dengan rencana Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk merelokasi warga Palestina ke luar negeri. Meskipun terdapat perbedaan istilah dan makna antara relokasi dan evakuasi, namun terdapat fakta yang sama, yakni penduduk di Jalur Gaza, Palestina, akan dipindahkan ke luar negeri. Adapun perbedaannya ialah karakteristik dari rencana relokasi dan rencana evakuasi warga di Jalur Gaza, Palestina, ke luar negeri.

Program Relokasi bersifat wajib, dapat dipaksakan, dan permanen (selamanya) sehingga warga Palestina yang menjadi korban program ini akan berubah status kewarganegaraan-nya dan tinggal di luar negeri seumur hidupnya. Sedangkan program evakuasi bersifat sukarela, tawaran terbuka dan temporer (sementara) sehingga warga Palestina yang mengikuti program ini akan kembali lagi ke Jalur Gaza, Palestina, saat situasi dan kondisinya memungkinkan. Jadi warga Palestina yang mengikuti program evakuasi tidak akan pernah berganti kewarganegaraan.

Selain itu, kunjungan resmi kenegaraan dan lawatan diplomatik Presiden Prabowo Subianto ke lima negara di kawasan Timur Tengah, yakni Uni Emirat Arab, Republik Turkiye, Republik Arab Mesir, Negara Qatar dan Kerajaan Hasyimiah Yordania, sudah sangat tepat. Kebijakan pemerintah RI untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan kelima pemimpin negara itu, terkait rencana kebijakan politik luar negeri RI untuk mengevakuasi 1.000 warga Gaza, Palestina, ke Indonesia, merupakan langkah yang strategis dan bijaksana.

Alasannya, pemerintah Republik Turkiye telah secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Negara Israel sejak . Begitu pula dengan Kerajaan Hasyimiah Yordania yang telah menarik Dubes-nya dari Tel Aviv, Israel, sejak 17 November 2023. Kondisi geopolitik dan situasi keamanan di Timur Tengah, termasuk pengalaman kelima negara saat membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tentu menjadi informasi intelijen yang sangat berharga bagi Pemerintah RI guna mweujudkan rencana evakuasi 1.000 warga Palestina ke Indonesia.

Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si.

Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) – Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI).

LEAVE A REPLY