NEWSCOM.ID, OPINI – Rencana kebijakan politik luar negeri pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk mengevakuasi sekitar 1.000 warga Palestina, khususnya di Jalur Gaza, dengan sejumlah persyaratan tertentu, telah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan di Indonesia, seperti para akademisi dan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Apalagi rencana kebijakan politik luar negeri RI itu disampaikan secara resmi oleh Presiden RI, Jenderal TNI (HOR.) (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo, pada Rabu, 9 April 2025. Tepatnya, sebelum Presiden RI Ke-8 itu bertolak menuju Uni Emirat Arab dan empat negara lainnya dalam lawatan resmi kenegaraan di Kawasan Timur Tengah. Keempat negara itu ialah Republik Turkiye, Republik Arab Mesir, Negara Qatar dan Kerajaan Hasyimiah Yordania.
- Pemerintah RI Siap Evakuasi Warga Palestina
Seperti dikutip dari akun Youtube ‘Sekretariat Presiden’ dengan judul: “Live: Keterangan Pers Presiden Prabowo, Lawatan Ke Timur Tengah dan Turkiye, Jakarta, 9 April 2025,” di laman https://youtu.be/tyJ1pADC_9M, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kesiapan Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza, Palestina, yang luka-luka, dan yatim piatu.
“Kami juga siap untuk menerima korban-korban yang luka-luka, kami nanti segera mengirim Menteri Luar Negeri untuk diskusi dengan Pemerintah Palestina, dengan pihak-pihak di daerah tersebut, bagaimana pelaksanaannya, untuk kami siap mengevakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu,” jelasnya.
Siapa pun yang oleh Pemerintah Palestina dan pihak-pihak yang terkait di situ, mereka ingin dievakuasi ke Indonesia, lanjutnya, kami siap akan kirim pesawat-pesawat untuk mengangkut mereka. “Kita memperkirakan mungkin, jumlahnya sekitar 1.000 untuk gelombang pertama,” ujarnya.
- Persyaratan Evakuasi Penduduk Gaza
Namun demikian, kesiapan pemerintah RI untuk mengevakuasi sekitar 1.000 warga Palestina ke Indonesia ini harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan. Antara lain, persetujuan para pihak terkait, khususnya warga Palestina, negara-negara di sekitar Palestina, serta evakuasi itu hanya bersifat sementara, bukan permanen.
“Syaratnya adalah semua pihak harus menyetujui hal ini. Kedua, mereka di sini hanya sementara, sampai mereka pulih, sehat kembali. Dan pada saat mereka pulih, sehat kembali, kondisi di Gaza sudah memungkinkan, mereka harus kembali ke daerah mereka asal. Saya kira itu sikap kami, sikap pemerintah Indonesia,” paparnya.
- Konsultasi dengan Negara Kawasan, Timur Tengah
Lebih lanjut, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa rencana kebijakan politik luar negeri terkait Palestina harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah, khususnya negara yang berbatasan langsung dengan Palestina seperti Mesir dan Yordania. Termasuk negara yang selama ini menjadi mediator dalam konflik di Palestina seperti Qatar, serta negara yang terlibat aktif dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina seperti Turkiye. Satu negara lainnya yang turut diajak berkonsultasi oleh Presiden Prabowo Subianto terkait rencana ini ialah Uni Emirat Arab, sebagai negara yang sangat berpengaruh dalam perekonomian di kawasan Timur Tengah.
“Dan untuk itulah saya harus konsultasi dengan pemimpin-pemimpin di daerah tersebut. Karena terus, sering kami dikirim utusan, ditelpon, dan sebagainya, bagaimana kesiapan Indonesia untuk membantu mencari penyelesaian atau membantu mendorong penyelesaian di Gaza. Ini sesuatu yang rumit, yang tidak ringan,” tuturnya.
Komitmen Indonesia, Pemimpin Nonblok, Terhadap Palestina
Menurut Presiden Prabowo Subianto, komitmen Republik Indonesia dalam mendukung keselamatan rakyat Palestina dan mendukung kemerdekaan Palestina telah mendorong pemerintah Indonesia untuk berperan lebih aktif. Apalagi Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, bahkan menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok.
“Walaupun Indonesia berada jauh dari kawasan tersebut (Timur Tengah), tapi Indonesia, Pertama, sebagai negara yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia, juga karena peran Indonesia sebagai negara Nonblok, bahkan dianggap sebagai pemimpin Nonblok yang berperan selalu bebas aktif, yang tidak mau mengikuti blok mana pun,” ucapnya.
Indonesia, lanjutnya, dianggap bisa diterima oleh banyak pihak, bisa diterima oleh semua pihak yang bertikai. Saya kira, posisi ini membuat kita (Indonesia) memang memiliki tanggung jawab. Karena itu, saya sampaikan bahwa Indonesia siap bila diminta oleh semua pihak yang terlibat. “Untuk berperan, kami siap, berperan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan Indonesia,” tegasnya.
- Bantuan Kemanusiaan Indonesia untuk Palestina
Lebih lanjut, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa segenap pemimpin dan masyarakat Indonesia terus berkomitmen untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada bangsa Palestina, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat. Bahkan Tenaga Kesehatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah dikirim ke Jalur Gaza dan
“Sudah cukup lama saya tegaskan, juga di bawah pemerintah Presiden Joko Widodo pun, Beliau juga sudah tegaskan, Indonesia siap, dari segi kemanusiaan, mengirim bantuan ke Gaza. Kita juga sudah kirim tim medis yang terus bekerja di dalam Gaza dengan kondisi yang cukup berbahaya, rumah sakit dimana kita kerja sering ditembaki,” katanya.
Presiden Prabowo pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada para Tenaga Kesehatan TNI yang bertugas di lapangan, seraya tetap bersyukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT). “Kita bersyukur, saya terima kasih, kepada prajurit-prajurit kita dari Kesehatan TNI yang bekerja di situ,” ujarnya.
Opini Penulis
Membaca pernyataan lengkap Presiden Pabowo Subianto di atas, tampak jelas bahwa gagasan dan rencana kebijakan politik luar negeri RI untuk mengevakuasi warga Palestina ke Indonesia, khususnya mereka yang luka-luka, sakit, mengalami trauma dan menjadi yatim piatu, harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan semua pihak terkait. Para pihak terkait itu, terutama adalah warga dan pemerintah Palestina, negara-negara tetanga Palestina seperti Mesir dan Yordania, negara-negara mediator konflik Palestina seperti Qatar, serta negara-negara berpengaruh di kawasan seperti Turkiye dan Uni Emirat Arab. Itu sebabnya Presiden Prabowo Subianto melakukan lawatan diplomatik ke lima negara di Timur Tengah, guna bertemu dan berkonsultasi dengan para pemimpin mereka.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto juga menggarisbawahi ketentuan bahwa rencana evakuasi penduduk Palestina ke Indonesia hanya bersifat sementara (temporer), tidak permanen, apalagi sampai pindah kewarganegaraan. Persyaratan ini, seperti diakui sendiri oleh Presiden Prabowo, tentu rumit dan sulit untuk dipenuhi di tengah praktik penjajahan, teror, genosida, kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat oleh Rezim Zionis Israel terhadap warga Palestina.
Itu sebabnya para pihak terkait di dalam negeri, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam lainnya segera memberikan tanggapan, kritik, usul dan saran kepada pemerintah RI. Begitu pula dengan para akademisi yang sehari-hari mempelajari dan meneliti persoalan-persoalan terkait studi geopolitik, hubungan internasional, keamanan dan militer di Timur Tengah.
Secara umum, para akademisi segera menyuarakan kritik dan kekhawatiran bahwa rencana evakuasi warga Palestina oleh Pemerintah RI dapat menyebabkan relokasi dan pemindahan permanen mereka. Penyebabnya, pemerintah Israel yang memblokade total Jalur Gaza diyakini tidak akan pernah mengizinkan warga Palestina, yang sudah keluar dari Jalur Gaza, untuk kembali lagi ke tanah asal mereka. Pernyataan ini sangat rasional dan logis, mengingat sejarah panjang kebiadaban rezim zionis Israel di tanah Palestina yang terbukti nyata selalu melanggar perjanjian gencatan senjata, resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kesepakatan damai dengan Palestina.
Dengan demikian, Presiden Prabowo Subianto sesungguhnya ingin menampung semua pendapat yang berkembang di publik nasional maupun internasional, terkait rencana evakuasi warga Palestina ke Indonesia, bahkan menetapkan dua syarat yang menurut penulis sulit terpenuhi dalam situasi keamanan dan kondisi geopolitik saat ini. Presiden RI itu juga ingin berkonsultasi dan mendapatkan informasi terkini mengenai situasi geopolitik, sosial, politik, keamanan dan militer di Palestina, baik yang bersifat umum dan dapat diketahui publik, maupun informasi intelijen yang bersifat rahasia.
Tukar-menukar informasi intelijen antar negara, yang sifatnya rahasia, hanya dapat diperoleh dengan kesepakatan dan kerja sama bilateral kedua negara, bahkan pada level tertentu, kedekatan istimewa antar sesama kepala negara dan kepala pemerintahan. Pendakatan spesial dan hubungan pribadi yang akrab sangat diperlukan dalam konteks ini. Misalnya, antara Presiden Prabowo Subianto dengan Raja Abdullah aṯ-Tānī bin al-Ḥusayn atau Raja Abdullah II bin al-Hussein dari Kerajaan Hasyimiyah Yordania. Begitu pula dengan kedekatan istimewa antara Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Recep Tayyip Erdoğan dari Republik Turkiye.
- Pandangan Akademisi
Penasehat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Drs. H. Muhammad Hamdan Basyar, M.Si., A.P.U., yang juga Peneliti di Pusat Riset Politik – Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan tentang kekhawatirannya mengenai pengungsi Palestina di luar negeri yang sangat sulit untuk kembali ke tanah airnya di Palestina. Pernyataan beliau pada Ahad, 13 April 2025, itu berdasarkan fakta sejarah tentang pengusiran paksa warga Palestina oleh rezim zionis Israel. Apalagi saat ini, Israel dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dari partai Likud, faksi sayap kanan di pemerintahan Israel.
“Saya tidak yakin warga Gaza yang dievakuasi ke luar negeri, akan bisa kembali ke tempat asalnya dengan mudah. Pengalaman perang tahun 1948 mengajarkan bagaimana sekitar 700.000 orang Palestina yang terusir dari wilayahnya, sulit pulang kembali,” jelasnya.
Padahal PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa/ United Nations (UN)), lanjutnya, sudah mengeluarkan Resolusi PBB Nomor 194 yang memberikan peluang warga Palestina untuk kembali atau mendapatkan kompensasi.
Pendapat senada diungkapkan oleh Pengamat Timur Tengah dari Universitas Bina Nusantara, Dr. Tia Mariatul Kibtiah, S.Ag., M.Si., pada Jumat, 11 April 2025. Seperti dikutip dari BBC (British Broadcasting Channel) Indonesia, menurutnya, tidak logis jika warga Palestina dirawat di Indonesia karena jaraknya terlalu jauh. Lebih baik bagi pemerintah untuk mengirimkan dokter serta bantuan medis ke Mesir dan negara-negara lain yang telah menampung korban perang di Jalur Gaza, Palestina. Informasi ini dapat diakses di laman https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9w8gpvvvv1o.
“Tidak logis, Indonesia dan Palestina jaraknya jauh. Untuk apa merawat (di Indonesia)? Jika Indonesia ingin berkontribusi, lebih praktis mengirimkan dokter serta bantuan medis ke Mesir dan negara lainnya yang menampung korban perang Gaza,” ujarnya.
Tidak masuk akal, lanjutnya, ketika pemerintah Indonesia menyatakan mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, tapi malah merelokasi warga Gaza dari tanahnya. “Coba bayangkan kalau dulu kita dijajah Belanda, negara lain mau bantu dengan merelokasi kita ke Eropa. Bukan begitu seharunya,” imbuhnya.
Waktu itu, ungkapnya, negara-negara lain, termasuk Palestina, bersama-sama mengakui kemerdekaan Indonesia. Seharusnya sekarang, Indonesia juga mengumpulkan kekuatan dari lebih 100 negara lainnya yang mendukung kemerdekaan Palestina. “Tujuannya untuk mendesak Two State Solution, Solusi Dua Negara,” ucapnya.
“Seharusnya itu yang dilakukan sekarang. Ingat, dulu Palestina juga mendukung Indonesia merdeka,” kata Dr. Tia Mariatul Kibtiah, S.Ag., M.Si.
- Respon Penulis
Realitas sejarah membuktikan bahwa sekitar 750.000 warga Palestina telah diusir atau kabur dari wilayah Palestina yang telah dikuasai Israel, pasca berakhirnya Perang Arab-Israel I pada tahun 1948. Orang-orang Palestina menyebut tragedi pengusiran ini sebagai Nakba, bahasa Arab yang artinya “Malapetaka”. Perang Arab-Israel I dipicu oleh pembentukan Negara Israel pada 1947, melalui Resolusi PBB Nomor Nomor 181 Tentang Rencana Pemisahan (Partition Plan) mandat Inggris (Britania) atas Palestina menjadi Negara Arab dan negara Yahudi. Namun setelah Perang Arab-Israel I berhenti pada tahun 1948, menurut data PBB, rezim zionis Israel tidak mengizinkan para pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah-rumah mereka.
Kemudian, Israel berhasil menduduki Tepi Barat (West Bank) dan Jalur Gaza setelah berakhirnya Perang Arab-Israel II atau Perang Enam Hari pada tahun 1967. Saat itu, lebih dari 325.000 warga Palestina telah melarikan diri, sebagian besar lari ke Yordania. Bahkan pada tahun-tahun berikutnya, sekitar 21.000 warga Palestina setiap tahunnya mengungsi dari area-area yang dikontrol (dikendalikan) oleh Israel. Rezim zionis Israel tetap menolak tuntutan Otoritas Negara Palestina untuk mengembalikan para pengungsi ke tempat tinggal asal mereka dalam negosiasi perdamaian apa pun.
Informasi di atas dikutip dari artikel berjudul: “Peta dan Penyebaran Diaspora Warga Palestina di Belahan Dunia,” yang ditulis oleh Naqsyabandi Ahmad. Artikel ini diterbitkan oleh media INH (International Networking for Humanitarian) pada Senin, 6 Januari 2025 di laman https://inh.or.id/peta-dan-penyebaran-diaspora-warga-palestina-di-belahan-dunia/.
Berdasarkan fakta sejarah ini, sangat wajar dan logis jika banyak akademisi dan ilmuwan yang yakin bahwa rezim zionis Israel tidak akan pernah mengizinkan para pengungsi Palestina untuk kembali lagi ke rumah-rumah mereka di tanah asalnya. Apalagi jika mengungsi ke negara yang jauh dari Palestina, seperti Indonesia. Pengalaman sejarah adalah guru yang terbaik dalam merencanakan langkah-langkah dan kebijakan politik luar negeri di masa depan. Jadi setiap pengambil keputusan, terlebih kebijakan luar negeri, sudah sepatutnya mempelajari sejarah, termasuk sejarah pengungsi dan diaspora Palestina di dunia.
Apalagi sejak 27 Oktober 2023 hingga kini, rezim zionis Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah melancarkan Operasi Pedang Besi (Iron Swords War) ke Jalur Gaza, Palestina, dengan jeda dua kali gencatan senjata, yang selalu gagal diperpanjang dan berakhir kembali dengan penindasan Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Selain itu, gagasan untuk mengirimkan dokter dan tenaga medis Indonesia Indonesia ke sejumlah negara di kawasan Timur Tengah, khususnya tetangga Palestina seperti Mesir, Yordania, adalah sangat logis dan rasional. Apalagi negara-negara tersebut, ditambah Turkiye dan Qatar, sebenarnya telah menampung ribuan pengungsi dan korban luka-luka akibat perang di Jalur Gaza, Palestina. Bahkan terdapat 40 Tenaga Kesehatan Nakes) TNI yang saat ini bertugas di El-Arish, Mesir, dan di Rumah Sakit Terapung milik Uni Emirat Arab yang telah aktif merawat korban perang dari Jalur Gaza, Palestina.
Seperti dikutip dari artikel berita berjudul “10 Nakes TNI Masuk Gaza Bantu Rawat Warga Palestina,” tertulis bahwa sebanyak 10 tenaga kesehatan (nakes) dari tiga matra TNI telah masuk ke wilayah Rafah, Jalur Gaza, Palestina, untuk merawat para pengungsi dan korban dari militer Israel di Rumah Sakit (RS) Lapangan. RS ini dioperasikan oleh pemerintah Uni Emirat Arab.
Terkait informasi di atas, Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Sekretariat Jenderal (Setjen) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI, Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha, menjelaskan bahwa tim dari Satuan Tugas (Satgas) Tenaga Kesehatan TNI untuk Gaza telah tiba di Jalur Gaza pada Sabtu, 7 September 2024. Artikel berita ini terbit pada Senin, 9 September 2024, di laman https://www.tempo.co/politik/10-nakes-tni-masuk-gaza-bantu-rawat-warga-palestina-11514.
Beliau juga menjelaskan bahwa Pemerintah RI telah memberangkatkan sebanyak 25 nakes TNI dari Jakarta ke El Arish, Mesir, pada pekan kedua Agustus 2024. Mereka dipimpin oleh Kolonel Ckm. dr. Adry Pasmawi, yang sehari-hari berdinas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Lalu dari 25 nakes TNI itu, 10 diantaranya dikirim ke Rafah, setelah pemerintah melakukan peninjauan lapangan dan hasilnya menunjukkan situasi di lokasi aman untuk nakes TNI.
Sementara itu, di Kapal Rumah Sakit/ RS Terapung milik Uni Emirat Arab, terdapat 24 tenaga kesehatan TNI yang membantu merawat pasien korban perang dari Jalur Gaza, Palestina, bersama-sama dengan dokter-dokter dari Uni Emirat Arab. Dari 24 orang itu, sembilan di antaranya tiba di El Arish, Mesir, pada Sabtu, 7 September 2024. Kedatangan gelombang kedua tim nakes TNI ke El Arish, Mesir, dipimpin oleh dr. Leksmana.
“RS UEA (Uni Emirat Arab) di Palestina dan di El Arish, Mesir, telah melayani pasien sejumlah 48.704 orang , termasuk melaksanakan 1.780 operasi,” kata Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan RI, Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha.
Penulis sangat mendukung sekali gagasan peningkatan jumlah nakes TNI yang akan ditempatkan di sejumlah rumah sakit, seperti di Kapal Rumah Sakit/ RS Terapung milik Uni Emirat Arab di Gaza, Palestina, serta RS Lapangan di El Arish, Mesir. Gagasan ini sangat logis dan rasional karena dasarnya adalah kemanusiaan, persahabatan erat antara bangsa Indonesia dan Palestina, serta adanya jaminan keamanan dan keselamatan terhadap para personel nakes TNI yang tergabung dalam misi ini.
Sebagai negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, serta pemimpin dan pendiri Gerakan Nonblok, sudah sepatutnya pemerintah dan rakyat Indonesia bahu-membahu dalam menolong bangsa Palestina yang sedang menderita akibat tindakan teror, penjajahan dan genosida rezim zionis Israel. Apalagi kedua bangsa pernah merasakan penderitaan luar biasa saat dijajah oleh bangsa asing sehingga sangat logis dan rasional ketika Bangsa Indonesia mendukung sepenuhnya perjuangan kemerdekaan Palestina melawan penjajahan rezim zionis Israel.
- Kesimpulan
Rencana kebijakan politik luar negeri Pemerintah RI untuk mengevakuasi warga Palestina, dengan target awal sekitar 1.000 orang, khususnya korban perang dan agresi militer rezim zionis Israel di Jalur Gaza, merupakan kebijakan bersyarat mutlak. Artinya, jika salah satu syarat tidak dapat terpenuhi karena dinamika situasi geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya Palestina, maka kebijakan politik luar negeri itu tidak akan dilaksanakan oleh pemeintah RI. Apalagi persyaratannya cukup berat, antara lain, evakuasi itu bersifat sementara, para pengungsi harus dapat kembali ke tanah asal mereka, serta kebijakan ini harus mendapatkan persetujuan semua pihak, terutama pemerintahan negara-negara di sekitar Palestina seperti Mesir, Yordania, Turkiye, Uni Emirat Arab dan Qatar.
Selain itu, pemerintah RI juga harus memperhatikan opini dan pandangan obyektif dari ormas-ormas Islam di Indonesia seperti MUI, NU, Muhammadiyah, DMI dan ormas-ormas lainnya. Termasuk pandangan dari ormas lintas agama di Indonesia, serta para ilmuwan, pakar dan akademisi yang memiliki perhatian khusus terhadap permasalahan di Palestina. Secara umum, mereka memberikan pandangan tentang besarnya kekhawatiran bahwa warga Palestina yang dirawat di Indonesia tidak akan pernah kembali lagi ke tanah asal dan negara mereka. Bahkan perawatan warga Palestina di Indonesia dinilai justru akan melemahkan dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina melawan penjajahan dan penindasan rezim zionis Israel.
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si.
Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) – Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI)