Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2019, total bencana yang melanda wilayah Indonesia mencapai 3.721. Akibat bencana itu, 477 meninggal dunia dan 109 hilang dan 3.415 luka-luka. Tingginya jumlah bencana yang selalu melanda Indonesia membuat Indonesia berada di posisi kedua negara dengan korban jiwa terbanyak dalam bencana dalam kurun 20 tahun terakhir. Tren Bencana Indonesia Tahun 2009-2019 dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukan bahwa:
- Secara umum trend bencana meningkat terus setiap tahunnya.
- Hingga 27 Desember 2019, telah terjadi 3.768 kejadian bencana.
- Banjir, longsor dan puting beliung masih tetap mendominasi bencana.
Tren kenaikan bencana alam telah diperkirakan oleh para ahli selaras dengan kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan perubahan iklim global sehingga cuaca bumi semakin ekstrim secara lokal.
Mengapa Cuaca Bumi Semakin Ekstrim?
Gas rumah kaca (termasuk, karbon dioksida dan metana) secara alami terjadi dalam atmosfer bumi untuk menangkap panas matahari dan menghangatkan bumi sedemikian rupa sehingga suhu bumi dapat menunjang kehidupan. Proses yang terjadi secara alami ini dikenal sebagai efek rumah kaca, dan tanpa proses tersebut, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk menopang kehidupan. Namun demikian, seiring dengan semakin banyaknya pelepasan gas rumah kaca dari kegiatan manusia ke atmosfer, gas rumah kaca tersebut memperkuat efek alami ini, sehingga meningkatkan suhu rata-rata bumi lebih tinggi lagi yang dikenal sebagai pemanasan global.
Pemanasan global akan meningkatkan penguapan air permukaan bumi sehingga menimbulkan kekeringan ekstrim. Dengan temperatur yang lebih tinggi, maka jumlah uap air yang dikandung dalam udara akan meningkat pula, sehingga bila hujan akan sangat ekstrim yang mengakibatkan kerusakan. Inilah yang disebut perubahan iklim bumi ini akan menyebabkan cuaca bumi menjadi ekstrim (kekeringan yang ekstrim atau hujan yang ekstrim) yang merusak keseimbangan ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia dan seluruh mahluk bumi.
Akibat perilaku manusia yang eksploitatif terhadap bumi telah mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem bumi. Hal ini akan berimbas pada manusia itu sendiri dengan meningkatnya gagal panen dan ketahanan pangan dunia serta kerentanan ketersediaan air. Krisis kedua bahan pokok kehidupan ini akan meningkatkan potensi terjadinya kerusuhan sosial dan kerentanan keamanan baik secara nasional dan global.
Hutan Tropis Dan Perubahan Iklim
Masa depan hutan tropis dan pengendalian iklim global saling terkait erat. Mengatasi penggundulan hutan merupakan bagian penting dari solusi perubahan iklim. Hutan merupakan gudang penyimpan karbon alam, meskipun beberapa analis menganjurkan penangkapan dan penyimpanan karbon menggunakan teknologi, namun teknologi tersebut mahal dan belum terbukti. Sesungguhnya, hutan merupakan satu-satunya sistem yang aman, alami, dan tersedia saat ini untuk menangkap dan menyimpan karbon dalam skala besar. Melalui proses alami fotosintesis, pohon menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer, bila karbon dioksida berlebih akan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pohon menyimpan karbon ini secara aman dalam batang, dahan, dan daunnya.
Sebaliknya, ketika hutan dibakar, ditebang atau dirusak, karbon yang disimpan oleh hutan tersebut terlepas kembali ke atmosfer, yang berakibat pada perubahan iklim. Penggundulan hutan juga mengurangi kapasitas hutan untuk menyerap kembali karbon dari atmosfer karena kawasan tutupan pohon menurun. Hutan tropis memberi jasa yang tak ternilai bagi umat manusia dan bagi alam semesta melalui penyerapan emisi karbon dioksida. Akan tetapi, hutan tropis dihancurkan dan dirusak sedemikian rupa, meskipun potensi hutan tropis sangat besar untuk menyerap karbon, hutan tropis sesungguhnya menjadi sumber emisi gas rumah kaca.
Kita tidak mungkin bisa mengatasi perubahan iklim tanpa melindungi hutan. Pengembalian hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan juga merupakan pilihan yang paling ekonomis untuk pengurangan emisi. Melindungi dan mengembalikan hutan akan memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan tambahan, di luar mitigasi perubahan iklim, termasuk meningkatkan ketahanan pangan; penyerbukan; pengendalian hama; persediaan air; pengendalian erosi tanah, dan banyak jasa ekosistem lainnya.
Bagaimana Komunitas Keagamaan Dapat Berperan?
Krisis lingkungan hidup dengan berbagai manifestasinya seperti perubahan iklim dan pemanasan global sejatinya adalah krisis moral, karena manusia memandang alam sebagai obyek bukan subyek dalam kehidupan semesta. Maka, penanggulangan terhadap masalah yang ada haruslah dengan pendekatan moral. Pada titik inilah agama harus tampil berperan.
Umat beragama dan komunitas spiritual memainkan peran unik dalam melindungi hutan tropis Indonesia dan mendukung masyarakat adatnya. Kepedulian pada alam merupakan ajaran agama dunia, dan kini saatnya untuk memperkuat dan menggerakan sumberdaya spiritual, pengaruh, dan otoritas moral untuk secara bersama-sama menegaskan bahwa menjaga hutan tropis merupakan kemuliaan dan penggundulan hutan tropis menciderai kemuliaan kehidupan.
Umat beragama di Indonesia dapat mengambil langkah di berbagai bidang, termasuk mengatur pilihan-pilihan pribadi dan berupaya melalui lembaga keagamaannya untuk mendorong pendidikan terkait nilai dan ancaman terhadap hutan tropis, melakukan advokasi terhadap perlindungan hutan tropis, dan berupaya melakukan inisiatif politik yang menentang penggundulan hutan dan mendukung hak-hak masyarakat adat.
Manfaat yang diperoleh dari menghimpun kekuatan keagamaan dalam upaya mengurangi penggundulan hutan akan berlipat ganda ketika agama-agama besar dunia berdiri berdampingan bersama-sama. Ketika komunitas agama menunjukkan kemampuan untuk bekerja sama, mereka akan membangun kredibilitas dan kepercayaan dari masyarakat luas. Ketika mereka bicara dengan satu suara untuk hal-hal seperti perlindungan hutan, otoritas moral mereka semakin diperkuat, memberikan mereka kemampuan untuk memengaruhi kebijakan melalui pengaruh mereka terhadap individu dan lembaga.
Prakarsa Lintas Agama Untuk Hutan Tropis
Prakarsa Lintas Agama Untuk Hutan Tropis atau Interfaith Rainforest Initiative adalah aliansi internasional lintas agama yang berupaya memberikan urgensi moral dan kepemimpinan berbasis agama pada upaya global untuk mengakhiri penggundulan hutan tropis. Ini merupakan wadah bagi para pemimpin agama dan komunitas agama untuk bekerja bahu-membahu dengan masyarakat adat, pemerintah, LSM, dan bisnis terkait aksi-aksi untuk melindungi hutan tropis dan hak-hak mereka yang berperan sebagai pelindungnya. Prakarsa ini percaya bahwa sudah tiba saatnya bagi gerakan dunia untuk merawat hutan tropis, yang didasarkan pada nilai yang melekat pada hutan, dan diilhami oleh nilai-nilai, etika, dan panduan moral keagamaan.
Mengingat posisi penting Indonesia sebagai salah satu dari lima negara yang memiliki lebih dari 70 persen hutan tropis dunia yang tersisa, United Nations Environment Programme (UNEP), organisasi lintas agama dunia dan mitra lintas agama Indonesia, merencanakan untuk melakukan lokakarya, dialog serta meluncurkan program IRI Indonesia pada 30 hingga 31 Januari 2020 di Jakarta. Acara ini akan dihadiri oleh 200 peserta peserta dari 12 provinsi di Indonesia yang terdiri dari para pemrakarsa, pimpinan majelis keagamaan, masyarakat adat, para ahli, LSM, pemerintah, serta organisasi-organisasi internasional yang saat ini sudah bekerja bahu-membahu di negara Brasil, Kolombia, Kongo, & Peru melalui Interfaith Rainforest Initiative, yaitu PBB, Religions for Peace, Rainforest Foundation Norway, dan GreenFaith.
Selanjutnya pada 1 Februari akan dibentuk Dewan penasihat Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan untuk memberikan saran dan arahan strategis tentang hal-hal substantif yang berkaitan dengan Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis di negara masing – masing dan membawa suara para pemangku kepentingan untuk mendukung implementasi kegiatan tingkat nasional melalui Dewan Pelaksana nya.
Sumber: https://mui-lplhsda.org/kolaborasi-lintas-agama-untuk-hutan-dan-pengendalian-perubahan-iklim/
Penulis: Dr. Ir. H. Hayu Susilo Prabowo, M.Hum.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH – SDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketua Panitia Interfaith Rainforest Initiative (IRI) – Indonesia.