JAKARTA — Stok beras yang dikelola Perum Bulog saat ini berada di titik terendah dalam sembilan tahun terakhir. Pemerintah melirik opsi impor untuk mendongkrak stok. Di sisi lain, penyerapan beras dalam negeri cenderung lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Situasi itu dinilai menjadi tanda perlunya mengevaluasi tata kelola Bulog dan kebijakan harga pembelian pemerintah untuk memperkuat daya serap dalam negeri.
Secara berturut-turut, stok beras akhir tahun yang dikelola Perum Bulog sebanyak 1,61 juta ton pada tahun 2014, lalu 1,32 juta ton (2015), 1,61 juta ton (2016), 945.532 ton (2017), 2,02 juta ton (2018), 1,87 juta ton (2019), 956.138 ton (2020), dan 808.311 ton (2021). Sementara itu, per Jumat (25/11/2022), stok Bulog berada di kisaran 571.000 ton.
Penurunan itu sejalan dengan penyerapan beras dalam negeri. Pada panen raya 2022, realisasinya cenderung lebih rendah dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Pada semester I-2022, realisasi penyerapan beras dalam negeri oleh Bulog sebanyak 550.134 ton. Padahal, pada semester I tahun 2018 sebanyak 1 juta ton, lalu 748.365 ton (2019), 696.297 ton (2020), dan 739.133 ton (2021).
Data Badan Pangan Nasional (NFA) yang dipaparkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR, Rabu (23/11/2022), menyebutkan, realisasi serapan beras oleh Bulog pada semester I tahun ini 25,6 persen lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal, produksi beras nasional meningkat 0,71 persen. Produksi beras nasional pada semester I-2022 mencapai 1,86 juta ton, sedangkan periode sama tahun sebelumnya 1,81 juta ton.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) dan menaikkannya. ”Saat ini jadi momentum mengevaluasi HPP karena petani berharap Bulog menyerap lebih besar saat harga turun. Selain itu, pemerintah sudah mengurangi pupuk bersubsidi (sehingga menyebabkan harga gabah naik),” ujarnya saat dihubungi, Jumat (25/11/2022).
Kebijakan HPP yang berlaku bagi Bulog dalam menyerap gabah/beras dalam negeri tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras. Regulasi ini menyebutkan, HPP untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp 4.250 per kilogram (kg), gabah kering giling (GKG) di penggilingan Rp 5.250 per kg, sedangkan HPP beras di gudang Bulog Rp 8.300 per kg.
Lima tahun lalu, nilai HPP tersebut diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Aturan tersebut menyatakan, harga GKP di tingkat petani Rp 3.700 per kg, GKG di penggilingan Rp 4.600 per kg, dan beras di gudang Bulog Rp 7.300 per kg.
Guntur mengusulkan, kebijakan HPP dapat mempertimbangkan laju inflasi. Dia berharap, pemerintah dapat meningkatkan HPP GKP di tingkat petani ke atas Rp 5.000 per kg. Dengan demikian, Bulog mampu bersaing dengan pelaku perberasan lainnya dalam menyerap gabah dari dalam negeri.
Ketika panen raya, menurut Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal, Bulog berupaya menyerap surplus produksi. Pada panen raya tahun ini, harga di pasar telah mendekati atau bahkan melebihi HPP yang ditentukan bagi Bulog. ”Harga tersebut terbentuk salah satunya dipengaruhi oleh jumlah perusahaan yang menyerap,” ujarnya.
Situasi itu menjadi tantangan bagi Bulog dalam mengoptimalkan serapan dalam negeri pada panen raya 2022. Kinerja tersebut, lanjut Awaludin, berdampak pada jumlah stok yang merupakan konsekuensi proses dalam upaya menjaga harga di hulu.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, harga GKP di tingkat petani sepanjang panen raya 2022 sebesar Rp 4.849 per kg (Februari), Rp 4.570 per kg (Maret), Rp 4.369 per kg (April), Rp 4.461 per kg (Mei), dan Rp 4.538 per kg (Juni). Adapun harga beras medium di penggilingan sepanjang Februari-Juni 2022 bergerak di angka Rp 9.008-Rp 9.359 per kg.
Tata kelola
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso menilai, polemik beras yang terjadi saat ini menunjukkan strategi penyerapan dan penyaluran belum selaras dengan pola produksi, konsumsi, dan distribusi beras. Stok beras Bulog saat ini mencerminkan kemampuan serap yang tak optimal saat panen raya.
Permasalahan itu, kata Sutarto, berakar dari penugasan stabilisasi harga di hulu yang tidak disertai kepastian penyaluran, terutama sejak peralihan program bantuan sosial (beras miskin/beras sejahtera) menjadi bantuan pangan nontunai. ”Bulog membutuhkan perkiraan jumlah yang pasti dalam penyaluran per bulannya sehingga dapat menghitung jumlah serapan agar tidak rugi dan tak menyimpan gabah dalam jangka waktu yang lama,” ujarnya.
Penyaluran beras Bulog secara berturut-turut mencapai 3,11 juta ton pada tahun 2014, lalu 3,56 juta ton (2015), 3,21 juta ton (2016), 2,74 juta ton (2017), 1,9 juta ton (2018), 1,1 juta ton (2019), 1,67 juta ton (2020), dan 1,17 juta ton (2021). Peralihan mekanisme bantuan pangan pemerintah dari natura menjadi bantuan pangan nontunai mulai dirintis sejak 2017. Pada tahun ini, realisasi penyaluran untuk operasi pasar per Jumat (25/11/2022) berkisar 992.000 ton.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menyebutkan, harga gabah sepanjang panen raya 2022 berada di bawah HPP berdasarkan data survei AB2TI. Artinya, pada saat itu Bulog semestinya bisa menyerap besar-besaran.
Agar kemampuan serap terjaga, Dwi mengatakan, pemerintah mesti menopang dengan serius pembiayaan Bulog dalam menjalankan tugas stabilisasi harga di tingkat petani dan konsumen. ”Jangan sampai pembiayaan ini membebani Bulog,” ujarnya.*
sumber: kompas.id