NEWSCOM.ID, JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI), Guntur Subagja Mahardika, S.Sos., M.Si., khawatir terhadap krisis petani Indonesia di masa depan. Penyebabnya ialah pendapatan riil petani yang rendah dilihat dari upah tani yang lebih rendah dari upah buruh.
“Kita mungin bisa juga mengukur, berapa sih tingkat pendapatan petani riil. Saya mengasumsikan perbandingan upah buruh dan upah tani. Jadi kalau upah buruh di data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun lalu (2022), saya yang tahun ini (2023) belum dapat, upah buruh itu di sekitar angka Rp 90 ribu-an per hari,” tuturnya pada Kamis (3/8) pagi.
Tapi kalau petani, lanjutnya, masih di sekitar Rp 58.000. Artinya, ini ada selisih yang cukup tinggi sehingga banyak masyarakat yang justru tidak memilih profesi sebagai petani. “Nah, ini tantangan kita,” ujarnya pada Kamis (3/8) pagi, saat diwawancarai oleh CNBC Indonesia dalam program FoodAgri Insight.
Tepatnya seperti dikutip dari akun Youtube CNBC Indonesia dengan judul: “NTP (Nilai Tukar Petani) Naik, Petani Indonesia Disebut Makin Makmur, Benarkah?” di laman https://youtu.be/Od8V_QOlCxY.
Lebih lanjut, Ketua Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) itu pun membenarkan pernyataan pembawa acara, Syarifah Rahma, tentang ancaman krisis petani di Indonesia.
“Bahwa ke depannya dikhawatirkan nanti malah justru (ada) krisis petani karena tadi upah juga yang cukup tinggi untuk gap-nya (kesenjangan), bahkan terhadap (upah) buruh,” ujar moderator, Syarifah Rahma, yang langsung disambut oleh narasumber, Guntur Subagja, dengan pernyataan: “betul”.
Selain itu, Sekretaris Lembaga Wakaf Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini juga menjelaskan tentang penyebab naiknya NTP di Indonesia. “Pertama, mungkin, kita cukup bangga dengan pertumbuhan NTP yang cukup signifikan,” papar Guntur Subagja.
Karena pada tahun lalu (2022) di bulan yang sama, sekitar Juli-Agustus, lanjutnya, NTP kita di bawah 100 dan sekarang (Juli – Agustus 2023) kita mencapai 100 (NTP-nya).
“Tapi, yang perlu kita waspada juga adalah kondisi ke depan, karena cuaca dan lain-lain, yang ada kemungkinan juga akan berdampak kepada sektor pertanian dan perikanan. Nah, yang perlu kita pahami bersama, NTP itu ialah indikator untuk mengukur tingkat daya beli atau kesejahteraan petani,” jelasnya.
Di satu sisi, ucapnya, biaya-biaya produksi (pertanian) mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Di sisi lain, biaya kebutuhan pokoknya juga cukup tinggi. “Nah, pendapatan petani terbantu dengan kenaikan harga gabah yang memang cukup tinggi,” imbuhnya.
Menurutnya, hal yang harus dipahami ialah faktor distribusi (produk) yang sangat panjang. Bisa jadi harga gabah yang terpublikasi itu bukan harga riil yang ada di petani karena rantai pasok yang agak panjang ini.
“Kondisi inilah yang sebenarnya harus kita segera cari solusi-solusi sehingga tingkat kesejahteraan petaninya cukup naik secara signifikan,” ungkap Guntur.
Sumber: Akun Youtube CNBC Indonesia, “NTP (Nilai Tukar Petani) Naik, Petani Indonesia Disebut Makin Makmur, Benarkah?, https://youtu.be/Od8V_QOlCxY.
Penulis dan Editor: Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si.
Peneliti CSPS SKSG UI