Potensi eskalasi perang di Idlib meninggi, media internasional memberitahukan bahwa Idlib memasuki fase baru dan perang sulit dihindari. Pasukan rezim Suriah, yang didukung oleh Rusia dan Iran, telah menguasai jalan strategis yang dikenal jalan highway M4 dan M5.
Jalan highway itu masing-masing menghubungkan kota Latakia dan ibukota Damaskus ke Aleppo. Latakia adalah basis kombatan tentara Rusia di Suriah dan Damaskus. Sedangkan Aleppo adalah kota yang dikuasai rezim Bashar al Assad.
Kemajuan pasukan Suriah pro Assad, yang didukung pesawat pengebom udara Rusia, telah memicu konflik baru. Kemajuan pasukan itu telah menewaskan 13 tentara Turki dan telah menyebabkan ratusan ribu warga sipil melarikan diri ke perbatasan Turki. Hal ini mendorong Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, untuk mengambil tindakan.
Presiden Turki pun telah lama bermimpi untuk menjadikan Turki sebagai negara Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) terpandang di dunia. Turki akan bersaing dengan Iran sebagai negara Syiah terbesar di Timur Tengah. Seolah-olah Idlib adalah jalan terbuka untuk mewujudkan impian itu.
Pada Selasa (18/2), sejumlah media menggambarkan bahwa Militer Turki telah mengirim ribuan tentaranya, termasuk konvoi ratusan Tank, ke Idlib, Suriah. Tujuannya untuk memperkuat pos pengamatannya di barat laut yang telah dikuasai pasukan rezim Suriah. Tujuan lainnya, militer Turki akan mendirikan pos baru di daerah yang dikuasai oposisi.
Pemerintah Turki khawatir bahwa tujuan utama Rusia adalah mengepung pasukan oposisi Assad sekaligus memotong rute pasokan utama dari wilayah Turki. Perkembangan ini sangat ingin dihindari oleh kedua pihak.
Pada Rabu (19/2), Presiden Erdogan menyatakan bahwa eskalasi di Idlib adalah “matter of time”. Erdogan telah mempertimbangkan pilihan-pilihannya untuk mencegah kekalahan total sekutu-sekutu Turki di Suriah. Apalagi Idlib adalah kota terakhir dari empat zona de-eskalasi yang disepakati oleh Rusia, Iran dan Turki pada 2017.
Tiga kota lainnya seperti Ghouta Timur, Provinsi Deraa dan Kota Quneitra di selatan, serta Kota Rastan dan Talbiseh di Provinsi Homs, telah ditaklukan oleh pasukan Assad satu demi satu dalam rentang waktu satu tahun.
Dalam proses pengambilalihan ketiga kota itu, puluhan ribu warga sipil dan pejuang yang tidak ingin tinggal di bawah pemerintahan rezim diizinkan pergi ke Idlib. Dampaknya, populasi pengungsi terus bertambah. Sebelum pengungsi datang, populasi Idlib sekitar 1.5 juta, dan kini populasi Idlib mencapai 3.1 juta jiwa.
Pada 2018, Turki berhasil menyelamatkan Idlib sesudah menyelenggarakan perjanjian dengan Rusia di Sochi. Tujuannya untuk membangun zona demiliterisasi di Idlib. Sebagai imbalannya, Turki berjanji untuk melucuti senjata kelompok Hay’et Tahrir al-Sham (HTS) dari daerah de-militerisasi. HTS merupakan kelompok Islam bersenjata yang sebelumnya dianggap terkait dengan al-Qaeda. Selain itu, Turki dan Rusia juga sepakat untuk membuka kembali highway M4 dan M5 untuk perdagangan dan pergerakan barang.
Namun Perjanjian Sochi tidak pernah dilaksanakan secara penuh. Turki tidak bisa memaksa HTS untuk menghormatinya, sedangkan Rusia tidak bisa menghentikan pasukan rezim Suriah dari menyerang zona aman (safety zone) sebagai solusi sementara. Tujuan akhir serangan itu ialah semua wilayah Suriah kembali di bawah kendali rezim Assad.
Dalam hal ini, peningkatan keamanan di Idlib tidak bisa dihindari. Tapi tidak seperti pengambilalihan zona de-eskalasi lainnya, jatuhnya Idlib akan menjadi bencana bagi Turki. Ini berarti kekalahan total pihak oposisi Suriah sekaligus pengucilan Turki sebagai pendukung utama oposisi dalam proses negosiasi di masa depan. Kondisi ini tentu menjadi kerugian diplomatik utama pasca keterlibatan Turki dalam konflik Suriah.
Selain itu, pengambilalihan Idlib akan mengakibatkan pengusiran sekitar 3.1 juta warga sipil ke perbatasan Turki atau daerah perbatasan kecil yang dikontrol Turki di provinsi Aleppo utara. Dengan meningkatnya pengungsi Suriah, Turki tidak mampu mengakomodasi lebih banyak warga Suriah di wilayahnya.
Diluar isu Idlib, Hubungan Turki-Rusia sebenarnya semakin baik. Hubungan Turki-Rusia mulai memanas sejak tahun 2015, pasca militer Turki menjatuhkan jet tempur Rusia di dekat perbatasan Suriah-Turki. Sebagai tanggapan, Rusia melarang impor barang-barang Turki dan melarang turis asal Rusia ke Turki. Ini sangat merugikan perekonomian Turki.
Setelah upaya kudeta terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Juli 2016 gagal, Erdogan meminta Amerika menangkap mastermind utama, seorang tokoh Turki Gulen. Namun Amerika menolak permintaan itu dan menyebabkan Turki membangun komunikasi dengan Presiden Vladimir Putin dari Rusia.
Tahun 2017-2019, hubungan Turki-Rusia semakin erat meskipun Turki masih menjadi anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO). Rusia adalah mitra dagang utama Turki, perdagangan Turki-Rusia mencapai lebih dari US$ 25 miliar per tahun. Hal yang lebih penting, Turki menjadi pusat transit untuk ekspor gas Rusia ke Eropa.
Bahkan pada Januari 2020, Erdogan dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, meresmikan Proyek Turk Stream, yakni proyek pembangunan pipa gas yang melintasi Laut Hitam dari Rusia ke Turki untuk mengirimkan gas ke Eropa tenggara.
Turki berharap mendapatkan dukungan Rusia terkait meningkatnya ketegangan terhadap pengeboran gas di Mediterania Timur, terutama setelah Amerika Serikat (AS) mendukung Yunani daripada Turki.
Kerja sama antara Turki dan Rusia juga meningkat di Libya, dimana kedua negara saling mendukung kelompok Libya yang berseberangan. Turki dan Rusia pun secara aktif terlibat dalam upaya menegosiasikan gencatan senjata untuk meredam konflik di Libya dengan melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kerja sama Turki-Rusia juga semakin intensif di bidang pertahanan. Turki tetap membeli sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia meskipun ditentang sekutu NATO-nya. Selain itu, Turki telah membahas kemungkinan pembelian jet tempur Rusia Su-35 dan Su-57.
*Lima skenario*
Turki memiliki lima pilihan kebijakan yang bisa diambil, terkait ketegangan Idlib yang menguat akhir-akhir ini, diantaranya adalah:
Opsi pertama, meluncurkan perang terbuka terhadap tentara Assad yang menguasai jalan highway M4 dan M5, namun menghindari konflik langsung dengan Rusia. Opsi ini diambil oleh Presiden Erdogan dalam rangka meningkatkan dukungan dalam negeri dan pembalasan atas meninggalnya 13 tentara Turki.
Opsi kedua, Turki meminta Rusia untuk setuju atas penegakan kembali perjanjian zona de-eskalasi di Idlib. Turki juga memerintahkan pasukan Suriah pro Assad untuk kembali ke posisi yang mereka kuasai sebelum dimulainya offensif (serangan) terbaru. Opsi ini yang paling menguntungkan karena tidak ada perang terbuka.
Presiden Erdogan pun dinilai menyelamatkan muka Turki di dunia internasional. Dalam opsi kedua ini, Turki dapat meminta proses penyelesaian politik atas Suriah dijalanan kembali. Terutama dengan memulai kembali pertemuan-pertemuan komite konstitusional.
Komite konstitusional ditugaskan untuk merancang amandemen konstitusi Suriah yang disetujui oleh rezim Assad, oposisi dan komunitas internasional. Opsi kedua ini sangat kecil terjadi karena Presiden Bashar al Assad tidak akan mengalah atas wilayah Suriah. Tapi hal ini mungkin terjadi jika tekanan dunia, khususnya Amerika terhadap Asad menguat.
Opsi ketiga adalah Turki menerima kenyataan baru di lapangan sehingga memungkinkan rezim Suriah mengendalikan jalan raya M4 dan M5. Tetapi Turki harusmenggunakan kekuatan diplomasi untuk mencegah kemajuan lebih lanjut.
Hal itu dapat dilakukan dengan membangun pos-pos “zona aman” di garis depan Idlib dan memasok oposisi Suriah dengan senjata berat, terutama rudal anti-pesawat. Tampaknya, Turki dapat mengadopsi kebijakan ini mengingat dua helikopter rezim dijatuhkan di Idlib dengan senjata anti-pesawat.
Opsi keempat, Turki memanggil semangat solidaritas NATO dan Dunia Internasional di PBB untuk menekan Assad agar mundur dari ofensif (serangan) baru atas nama kemanusiaan. Opsi ini diambil tanpa konflik langsung dengan Rusia, meskipun Rusia akan menggunakan hak veto-nya di Dewan Keamanan (DK) PBB jika ada upaya-upaya yang meminta negara lain untuk mencampuri urusan dalam negeri Assad (Suriah).
Opsi kelima adalah eskalasi terbuka dengan Rusia dan Assad. Kehadiran senjata anti-pesawat di Idlib telah meningkatkan risiko pesawat Rusia ditembak jatuh. Kemunginan Militer Turki akan mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari perkembangan berbahaya seperti itu. Namun mengingat pengiriman tentara besar-besaran, situasi konfrontasi dengan pasukan Rusia tahun 2015 sangat mungkin terulang.
Dari kelima opsi tersebut, Erdogan akan memutuskan tergantung juga bagaimana sikap AS. Menurut Al Jazeera, sejauh ini Washington telah mengirim sinyal multitafsir ke Erodogan. Sekretaris Negara AS, Mike Pompeo, menyatakan dukungannya untuk Turki, begitu pula dengan Perwakilan Khusus Suriah, James Jeffrey.
Sementara Pentagon, menanggapi dengan mengatakan bahwa “tidak ada perjanjian yang dibuat AS” dalam mengambil langkah-langkah lebih konkret di Idlib. Bila AS mendukung penuh Turki, maka Turki akan semakin percaya diri untuk melakukan ofensif terbuka terhadap Asad di Idlib.
*Dampak Ekonomi Dunia*
Bila AS dan Turki bersatu dalam mempertahankan Idlib dari pasukan Asad dan Rusia sehingga perang di Idlib tidak terhindarkan, maka ekonomi dunia semakin sulit.
Perang Idlib akan menciptakan ketidakpastian baru terhadap ekonomi dunia. Konflik tersebut melibatkan beberapa negara seperti Turki, Rusia, dan Negara Anggota NATO termasuk Amerika. Sedangkan Iran akan menjadi battleground baru dari konflik yang sebelumnya sudah terjadi.
Ekonomi dunia sudah mengalami tekanan berat karena penyebaran virus Corona. Sebelum penyebaran virus corona, ekonomi dunia diproyeksikan oleh World Economic Forum (WEF) International Monetary Fund (IMF) tumbuh 3.2%, dan akibat virus Corona mungkin menyusut menjadi sekitar 2.5%.
Sedangkan Perang Idlib akan menambah berat pertumbuhan ekonomi dunia karena jalur perdagangan di kawasan mediterania tidak aman. Beberapa ekonom memprediksi bahwa ekonomi dunia hanya dapat umbuh sekitar 2,0-2,5 persen saja jika timbul konflik baru di Idlib. Hal tersebut tentu akan merugikan semua orang.
Momen ini adalah titik kritis, keputusan besar harus dibuat di Ankara, Moskow dan Washington dalam beberapa minggu mendatang. Keputusan itu dapat menentukan fase selanjutnya dari konflik Suriah.
Penulis: Hidayat Matnoer
Pengamat Kebijakan Publik
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) 2003-2004
Editor: Muhammad Ibrahim Hamdani